Ini Dia Tiga Jenderal yang Berani ‘Melawan’ Bekas Atasannya
Selama 32 tahun lamanya, Soeharto berkuasa di Indonesia. Sampai kemudian pada Mei 98, Soeharto lengser, lalu digantikan Habibie. Dengan mengandalkan tiga jangkar, Soeharto melanggengkan rezimnya. Tiga jangkar penopang rezim, adalah mesin birokrasi, Golkar dan ABRI (TNI-red). Sebagai seorang jenderal, Soeharto berhasil membuat institusi militer jadi pendukung kuat kekuasaannya. Militer pun ditarik dari aparat negara menjadi aparat penguasa.
Dan, sepanjang kekuasaannya Soeharto juga banyak menciptakan ‘musuh-musuh’. Ia memang dikenal sebagai penguasa yang tak segan ‘menggebuk’ lawan politiknya secara halus. Menariknya, ‘musuh-musuh’ Soeharto itu banyak yang tadinya adalah anak buahnya. Tapi, setelah itu balik ‘melawan’ Soeharto. Siapa sajakah anak buah Soeharto yang berbalik melawannya?
Kemal Idris
Letnan Jenderal (Purn) Kemal Idris, pernah jadi anak buah Soeharto. Di era 65, Kemal adalah anak buah Soeharto di Kostrad. Saat itu, Soeharto adalah Pangkostrad. Sementara Kemal menjabat Kepala Staf Kostrad atau Kaskostrad. Kemal mengaku pernah mengerahkan pasukan Kostrad tanpa nama mengepung Istana Merdeka. Ketika itu Presiden Soekarno tengah menggelar rapat kabinet. Keberadaan ‘pasukan liar’ pimpinan Kemal itu yang membuat Soekarno harus mengakhiri rapat kabinet, dan langsung terbang ke Istana Bogor. Kemal sendiri kemudian menggantikan Soeharto jadi Pangkostrad, ketika mantan atasannya itu naik ke pucuk kekuasaan. Setelah itu ia sempat menjabat sebagai Pangkowilhan IV Sulawesi. Kemal pensiun dengan pangkat terakhir Letjen.
Saat bertugas di Sulawesi, nama Kemal memang populer. Tapi karena itu pula ia tak disukai oleh para jenderal di lingkaran dekat Soeharto. Apalagi, Kemal ketika jadi panglima di Sulawesi membatasi gerak tim Opsus pimpinan Ali Moertopo.
Dalam memoar “Bertarung Dalam Revolusi” Kemal menuliskan, bahwa pada akhirnya dirinya tahu, siapa yang membuatnya harus tersingkir. Oleh Soeharto dicopot dari posisinya sebagai Pangkowilhan Sulawesi. Dan, ia ditugaskan jadi Duta Besar di Yugoslavia.
Pencopotan itu membuat Kemal kecewa. Ia pun mencari tahu, apa penyebabnya hingga ia dicopot. Akhirnya dari mulut Soedomo, Kemal tahu, siapa yang memberi informasi tak benar kepada Soeharto. Pemberi informasi itu adalah Ali Moertopo yang geraknya dia batasi di Sulawesi.
Setelah tak lagi aktif di pemerintahan, Kemal coba berbisnis. Ia bikin perusahaan pengelola sampah. Tapi, ia juga tetap aktif berkomunikasi dengan beberapa purnawirawan tentara. Salah satunya dengan HR Dharsono, mantan Panglima Siliwangi. Ya, Kemal punya kedekatan khusus dengan Dharsono, karena sama-sama pernah bertugas di Siliwangi.
Lambat laun, Kemal merasa, jalannya kekuasaan Soeharto kian melenceng dari yang ia cita-citakan. Ia pun gelisah. Lalu, bersama dengan beberapa pensiunan jenderal, Kemal membuat Barisan Nasional (Barnas). Dan, bersama dengan beberapa tokoh nasional, Kemal juga ikut meneken Petisi 50. Petisi yang berisikan keprihatinan para tokoh atas jalannya kekuasaan di bawah Soeharto.
Pada fase inilah, Kemal sudah mengambil posisi bersebrangan dengan Soeharto, mantan bosnya di militer dan pemerintahan. Kemal kecewa, Soeharto tak seperti yang diharapkannya. Bahkan dalam sebuah kesempatan wawancara, Kemal mengaku ‘menyesal’ telah mendukung Soeharto hingga naik ke puncak kekuasaan.
Awalnya ia menaruh harapan kepada Soeharto dapat mengubah Indonesia lebih baik lagi. Ternyata harapan itu perlahan pudar seiring kian kuatnya kekuasaan Soeharto. Kemal memandang, Soeharto telah jauh melenceng dari cita-cita konstitusi dan Pancasila. Ia pun memutuskan berseberangan dengan Soeharto. Hingga meninggalnya, pada 28 Juli 2010, sikap kritis Kemal kepada Soeharto tak luntur.
Ali Sadikin
Jenderal lainnya yang dikenal vokal kepada Soeharto adalah Ali Sadikin atau dikenal dengan panggilan Bang Ali, Letnan Jenderal KKO (Marinir) yang pernah jadi Gubernur DKI Jakarta. Bang Ali, seperti diketahui diangkat jadi gubernur Jakarta di era Soekarno masih jadi Presiden. Tapi, di era Soeharto berkuasa, masa tugasnya sebagai gubernur di perpanjang. Maka bisa dikatakan, sebagai gubernur, Bang Ali adalah ‘anak buahnya’ Presiden.
Namun setelah pensiun Bang Ali merasa kecewa dengan Soeharto. Bang Ali menganggap kekuasaan yang dijalankan Soeharto sudah melenceng dari konstitusi. Ia pun akhirnya mengambil jalan berseberangan dengan mantan atasannya itu.
Bersama sejumlah tokoh nasional, seperti Bung Hatta, M Natsir, Jenderal AH Nasution dan lain-lain Bang Ali mendeklarasikan Petisi 50, sebuah petisi yang berisi keprihatinan akan jalannya kekuasaan Soeharto yang dianggap telah keluar jalur konstitusi.
Soeharto pun bertindak ‘keras’. Semua penandatangan Petisi 50 dikucilkannya. Mereka susah untuk dapat pinjaman ke bank. Bahkan, untuk pergi ke luar negeri susahnya bukan main. Tidak hanya itu, sekedar untuk menghadiri acara seminar atau nikahan, para penandatangan Petisi 50 dipersulit. Namun setelah Soeharto lengser, hubungan Bang Ali dengan mantan penguasa Orde Baru itu membaik. Bang Ali sama sekali tak menaruh dendam, meski ia diperlakukan tak adil oleh Soeharto.
Bang Ali, kerap datang ke Cendana untuk menengok Soeharto. Begitu juga dengan Soeharto, beberapa kali bertandang ke rumah Bang Ali. Pada 20 Mei 2008, Bang Ali dipanggil Tuhan, setelah dirawat di sebuah rumah sakit di Singapura.
Hoegeng Imam Santoso
Pada 15 Mei 1968 Jenderal Hoegeng Imam Santoso dilantik Soeharto jadi Kapolri, menggantikan Jenderal Polisi M. Ng. Soetjipto Joedodihardjo. Tapi sikap keras Hoegeng dalam menjalankan tugas membuatnya terpental dari kursi Kapolri. Ya, Jenderal Hoegeng memang keras kepada setiap kejahatan yang terjadi. Ia tak pandang bulu menindak orang yang dianggapnya melanggar hukum. Salah satu yang terkenal adalah ketika Jenderal Hoegeng tetap mengusut kasus penyelundupan mobil mewah yang dilakukan Robby Tjahjadi, pengusaha yang dekat dengan Cendana. Ia pun akhirnya dicopot jadi Kapolri. Sempat ditawari jadi Duta Besar di sebuah negara, tapi Hoegeng menolaknya.
Setelah pensiun, Hoegeng masuk barisan penentang Soeharto, mantan atasannya saat jadi Kapolri. Bersama sejumlah tokoh, seperti Bung Hatta, Jenderal Nasution, M Natsir dan Bang Ali, Hoegeng menandatangani Petisi 50. Karena langkahnya itu, Hoegeng dikucilkan oleh penguasa. Hidupnya dipersulit, sama seperti yang dialami seluruh peneken Petisi 50. Hoegeng sendiri meninggal, 14 Juli 2004.
Masa pemerintahan Soeharto banyak disebut sebagai ‘jaman yang paling enak’ di Indonesia. Namun dari catatan-catatan seperti inilah kita menyadari bahwa tak ada gading yang tak retak. Salutnya adalah bagaimana para tokoh ini berani mengkritik pemerintah ketika dirasa tidak sesuai lagi dengan cita-cita semula. Tentunya dengan cara yang tidak ambisi untuk menjatuhkan, namun mengedepankan kepentingan negara.
No comments :